Senin, 19 September 2011

GERAKAN BENTENG SUMITRO


Latar Belakang Lahirnya Gerakan Benteng

Pelaksanaan Rencana Urgensi Perekonomian didahului oleh suatu program yang disebut Gerakan atau Program Benteng. Program Benteng mengawali gelombang transformasi ekonomi yang dipaksakan untuk menghadirkan kelas pengusaha pribumi. Program Benteng digagas pada tahun 1950 oleh Menteri Perdagangan dan Perindustrian ketika itu, Sumitro Djojohadikusumo. Sumitro yang kala itu merupakan wakil Partai Sosialis Indonesia dalam kabinet Natsir (Masyumi), melihat menumpuknya beban pemerintahan RI karena utang warisan penjajah Belanda sebesar Rp 4,3 Milyar sungguh sangat membebani republik muda usia itu. Beban utang itu adalah ibarat harga kemerdekaan RI yang mesti ditebus oleh Indonesia kepada pemerintah kolonial Belanda yang tertuang dalam Konferensi Meja Bundar 1949 di Den Haag, Belanda. Beban mengangsur utang warisan itu memperlambat kesempatan RI muda untuk membangun infrastruktur. Sumitro hadir membawa solusi revolusioner; memberi kredit impor seluas-luasnya hanya kepada pengusaha pribumi sehingga diharapkan bisa memicu pertumbuhan ekonomi nasional. 

Meski berbau sedikit kapitalistik, namun program yang diperuntukan sepenuhnya untuk memproteksi pengusaha pribumi ini diharapkan bisa meruntuhkan dominasi asing-yang kala itu masih dikuasai oleh oligopoli perusahaan Belanda dan Inggris. Pertumbuhan ekonomi yang dipelopori oleh pribumi tentu akan meringankan beban pemerintah membangun infrastruktur. Perusahaan oligopoli ini dikenal dengan nama The Big Five, yakni perusahaan dagang Belanda yang terdiri atas Borsumij, Jacobson van den Berg, Geo Wehry, Internatio dan Lindeteves. Tiga perusahaan pertama muncul pada pertengahan abad ke 19 bergerak dan di bidang perdagangan dan investasi. Internatio bergerak di sektor perbankan, sedangkan lindeteves bergerak dalam bidang permesinan. Di akhir tahun 1957 semua perusahaan Belanda (termasuk The Big Five) dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia. Setelah dinasionalisasi oleh Pemerintah Indonesia, kelima perusahaan ini berganti nama, Borsumij menjadi PT. Indevitra, Jacobson menjadi PT. Yuda Bhakti, Geo Wehry menjadi PT. Triangle, Internatio menjadi PT. Satya Negara dan Lindeteves menjadi PT. Indestins.[1]

Program Benteng dan Pengusaha Ali-Baba
Istilah ‘Benteng terhadap ide Sumitro ini diberikan karena pada dasarnya program tersebut berusaha membangun kewirausahaan pribumi agar mampu membentengi perekonomian negara yang baru merdeka seperti Indonesia. Selain itu, juga untuk meningkatkan daya saing di luar negeri, bukan saja dengan bisnis Barat (Belanda), tetapi juga dengan jaringan bisnis etnis Cina di seluruh dunia. Dalam program ini lisensi impor dari berbagai jenis barang yang mudah dijual diberikan kepada pengusaha pribumi. Pengaruh Program Benteng terhadap pelaksanaan rencana Urgensi Perekonomian ternyata sangat menentukan jalannya perubahan struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional mengingat sebagian besar rakyat pada saat itu berada dalam taraf kehidupan yang rendah. Sebagian penyebab rendahnya tingkat kesejahteraan timbul karena adanya kenyataan adanya dominasi perusahaan-perusahaan asing yang berorientasi ekspor. Hal yang paling ambisius dari RUP,dan yang paling banyak mengundang kritikan, adalah sejumlah proyek industri skala besar, disamping sejumlah rencana untuk mengolah bahan mentah menjadi barang setengah jadi atau barang jadi. Dalam rangka mendukung programnya, atas anjuran Sumitro, sebuah bank khusus milik pemerintah dibentuk dengan nama Bank Industri Negara (BIN)[2]. Dengan demikian, RUP telah mengantarkan BIN sebagai perintis ekonomi, karena dalam waktu singkat telah bertanggung jawab atas pengelolaan dan pembiayaan proyek industri gagasan Sumitro.

Ditinjau dari segi pengendalian nasional, Program Benteng berjalan cukup berhasil, pada pertengahan tahun 1950-an, sekitar 70 persen perdagangan impor dilakukan oleh pengusaha pribumi Indonesia. Fokus program Benteng dalam perdagangan impor didasarkan pada pertimbangan bahwa perdagangan impor paling mudah dikendalikan oleh negara melalui alokasi lisensi impor. Akan tetapi, program ini memiliki kelemahan karena dalam waktu singkat bermunculan importir-importir yang tidak memiliki keterampilan dan pengalaman bisnis dalam perdagangan impor. Menurut Soedarpo Sastrosatomo, salah seorang pejuang kemerdekaan dan tokoh bisnis pribumi ternama, banyak diantara mereka (para pengusaha pribumi) yang tidak memahami seluk beluk perdagangan impor, misalnya bagaimana mengurus pendokumentasian impor atau cara mendanainya (Thee, 2005: 143). Mereka disebut “importir aktentas”, yaitu pengusaha tidak bermodal dan tidak berkantor. Mereka berhasil memiliki lisensi namun tidak mempunyai dana dan keahlian sehingga terpaksa mengandalkan kapitalis yang terampil (umumnya etnis China) yang memiliki sumber finansial serta manajerial namun secara politis tidak mampu mendapatkan lisensi. Dengan membawa aktentas, mereka keluar-masuk kantor instansi pemerintah untuk mendapatkan lisensi impor bermacam barang dan menjualnya kepada pengusaha Cina. Program Benteng telah membuka peluang kegiatan memburu rente (rent seeking), dan kurang berhasil mengembangkan wirausahawan pribumi yang tangguh dan mandiri. Dengan kata lain, Program Benteng dikatakan mengalami kegagalan, penyebabnya bersumber pada pemberian hak eksklusif impor barang yang tidak didasarkan atas keterampilan atau pengalaman, tetapi lebih didasarkan atas kedekatan atau hubungan pribadi. Kondisi ini disadari oleh Sumitro dan mengatakan bahwa dari dari sepuluh orang penerima program benteng hanya tiga orang pengusaha sejati, sedangkan sisanya adalah benalu (Thee, 2004: 44-45).

Repotnya, program yang telah dirancang sejak kabinet Natsir dan praktiknya sudah melenceng jauh ini ternyata diteruskan dengan penuh semangat oleh Mr. Iskaq Tjokroahadisuryo,  seorang tokoh ultranasionalis pendiri PNI yang menjabat menteri perekonomian pada masa Kabinet Ali Sastroamijoyo I (Agustus 1953-November 1954). Berawal dari Program Benteng, importir aktentas menjualnya lisensi impor yang telah dikantonginya kepada pedagang Cina. Kerjasama inilah yang kemudian dikenal dengan nama program Ali-Baba. ‘Ali’ sebagai idiom untuk pengusaha pribumi, dan ‘Baba’ mewakili pedagang Cina. Eksperimen untuk mengangkat nasib pengusaha pribumi  berubah menjadi arena korupsi dan kolusi. Bank Negara Indonesia diharuskan membiayai program pribumiisasi tersebut, meskipun alternatif pembiayaan dalam bentuk bursa efek telah dibuka pada saat itu (tahun 1952), tetapi pengusaha pribumi tidak berminat karena telah terbiasa dengan kredit bank, yang dananya berasal dari pemerintah juga. Program Benteng akhirnya secara resmi dihentikan pada tahun 1957 oleh Menteri Perekonomian, Ir. Rooseno Surjohadikusumo, atas dasar menghilangkan diskriminasi rasial dalam praktik perekonomian negara. 



[1] lihat antara lain Yoshihara Kunio, Kapitalisme Semu Asia Tenggara, hal. 193, atau Wanda Mulya, Struktur Perdagangan Sejak Pelaksanaan Ekonomi Terpimpin, dalam Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia, jilid 2, hal. 207
[2] Margono Djojohadikusumo Presiden Direktur BNI, ditetapkan untuk merangkap jabatan yang sama di BIN. Selama periode 1952-1955, BIN telah membiayai beberapa pembangunan industri ringan dan berat sekaligus.

2 komentar:

  1. Jazakallah. Semoga bisa menambahkan https://vracarsa.blogspot.co.id/2016/10/persamaan-dan-perbedaan-program-ekonomi.html

    BalasHapus